Mace dan Cerpennya 1: Kopi Ekspresi
Dua puluh menit telah berlalu, suara mesin berusaha
dihidupkan masih belum berhenti.
“Gimana kang? Udah bisa belum?” Seorang pemuda tegap bertanya
dari sisi jalan.
“Wah kayaknya masih lama nih pak. Gimana atuh? Mau saya
pesanin taksi saja?” Pria separuh baya itu menjawab sambil mengusap dahinya
yang telah penuh dengan peluh.
Pemuda itu diam sejenak. Matanya memandang jauh ke arah Halte
bus.
“Kalau naik Damri kira-kita lewat jalan yang ke kantor tidak
pak?”
“Oh, bisa kok pak. Waktunya sama kok dengan naik taksi. Itu
sudah datang bisnya”
“Oke pak, saya naik bis saja. Nitip mobil ya. Terimakasih”
Pemuda itu menyelesaikan ucapannya sambil berlari kecil. Tak ingin tertinggal
bis.
Hampir saja dia tertinggal. Syukurlah masih terkejar. Seluruh
kursi sudah terisi penuh. Mau tak mau dia harus berdiri. Seorang pria bertubuh
gembul menyusul dari belakangnya. Bawaannya banyak dan dia berusaha masuk bis
walaupun telah sesak.
“Ouch” Pemuda itu mengerang keras, kesakitan. Kakinya tak
sengaja diinjak pria tersebut. “Hati-hati pak,” Suara sedikit tertahan karena
menahan sakit dan juga emosi marahnya. “Sudah di sini saja jangan ke mana-mana,
masih banyak orang.” Lanjut pemuda tadi karena melihat bapak itu masih berusaha
bergerak maju.
Tapi pria gembul itu tak menghiraukan, dia tetap berjalan.
Tak jauh dari tempat berdiri pemuda itu ada seorang gadis berdiri tenang
menutupi jalan si pria gembul. Si pria gembul maju terus pantang mundur, ia
sepertinya masih belum menemukan tempat yang nyaman untuk berdiri. Tentu saja
kaki gadis itu juga diinjaknya dan kali ini sepertinya lebih sakit karena sopir
menginjak rem mendadak yang menyebabkan si pria gembul kehilangan
keseimbangan.
“Aaaah” pemuda itu berkata pelan seolah-olah kakinyalah yang
diinjak. Ia menunggu respon gadis tersebut terhadap perlakuan pria
gembul.
Satu detik...
dua detik...
tiga detik...
sepuluh detik...
Sang pemuda masih menunggu, si gadis hanya menatap tajam pria
gembul yang tetap cuek namun telah berhenti bergerak. Tak ada percakapan, tak
ada kata-kata marah, ekspresi kesakitan saja tak ada.
Waw, sang pemuda heran. Dia merasa yakin bahwa apa yang
dialami si gadis pasti lebih sakit dari apa yang dialaminya. Wah gadis itu
benar-benar tegar. Itu pikirnya untuk menjelaskan apa yang telah dilihatnya
beberapa menit yang lalu. Keren. Suara klakson di samping kiri dan kanan bis
serta suara kendaraan lain yang bising membuat pemuda tersebut tersadar bahwa
sepertinya dia bakal terlambat. Macet parah.
2nd Meet
“Maaf mas Angga, saya telat, Tadi mobil tiba-tiba mogok di
jalan, terpaksa naik bis ke sininya, hehe” Pria yang dipanggil mas Angga
menggerutu dengan tatapannya. Namun sepertinya belum puas diapun berjalan
menghampiri sang pemuda.
“Firman... Firman.... please.
Lain kali kalau saya tawarkan sopir jangan nolak ya. Ini memang perusahaan ayah
kita, namun bukan berarti kamu dapat berbuat seenaknya. Dan sekarang ada klien
penting yang mau bertemu dengan kita. Apa kata dunia kalau yang punya proyeknya
ngak ada. This is your
responsibility, you know?! Huh, capek saya nasehatin kamu” Firman diam
menatap abangnya yang sedang kesal. Tiba-tiba dia memegang perutnya. Tak kuat
sampai dia terduduk.
“Hai kamu kenapa?” Angga khawatir melihat adiknya terduduk
tiba-tiba.
“whaahahahahahaha” pecahlah suara tawa Firman.
“Hei apa yang kau tertawakan. Dasar, adik kurang ajar. Aku
serius marah niih. Kamu malah jadikan lelucon”
Melihat ekspresi kecewa abangnya Firman berhenti, “maaf..
maaf Mas. Aku tahu kalau dirimu lagi tegang namun pilih kata-kata yang tak usah
lebay lah, kamu kayak istri yang marah-marah karena suaminya telat pulang
kerumah deh. Hehe.”
Angga cemberut melihat Firman yang masih berusaha menahan
tawanya. Namun akhirnya mereka tertawa bareng. “Masa sih?!lebay banget yah?!
hehe.” Firman mengangguk dengan tetap senyum menghiasi bibirnya.
Tok..Tok...
Suara ketukan pintu menghentikan tawa mereka
“Maaf pak, tamunya sudah tiba”
“Oh, iya minta tolong minta mereka masuk aja Tanti, Terima
kasih ya” Pinta Angga pada sekretarisnya.
“Alhamdulillah, mereka sudah di sini. Alhamdulillah kamu juga sudah di sini.” Angga
merapikan penampilannya, Firman masih dengan ekspresi menahan tawa. “Tarik
napas mas! Tenang.. tenang..”
Angga mengikuti instruksi Firman.
Sekali lagi terdengar suara ketokan pintu,
“Masuk.” Angga menyahut.
“Assalamu’alaikum,”. Suara bass dari balik pintu
terdengar
“Wa’alaikumussalam, silahkan masuk pak Ahmad” seorang
pria dengan wajah sumringah memasuki ruangan.
“Apa kabar pak Angga, sehat?” Pria yang di panggil pak Ahmad
memulai percakapan yang mencairkan suasana.
“Alhamdulillah sehat
pak. Bagaimana kabar bapak?" "Alhamdulillah sama, saya juga sehat wal’afiat dan
keluarga saya juga sehat wal’afiat” Firman mengeryitkan keningnya. Perasaan
Abangnya tidak menanyakan kabar keluarganya deh. Seperti mengerti arti
kebingungan Firman, Pak Ahmad menjelaskan.
“Masmu ini kalau lagi grogi habis pertanyaan apa kabarmu?
dilanjutkan dengan pertanyaan bagaimana kabar keluargamu, hehe” terlihat Angga
menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya
“Anda tahu saja pak.” Ia tersipu malu.
“Iyalah, Anda kira sudah berapa lama saya bekerja dengan Anda
dan ayah Anda?”
“Orangnya sudah ada di sini? ” Angga mengganti topik, seperti
khawatir rahasia lain dibongkar pak Ahmad di depan adiknya.
“Alhamdulillah sudah.
Jauh-jauh saya bujuk dari Aceh, biar mau datang ke Bandung”
“Alhamdulillah terimakasih
ya pak.” Pak Ahmad mengangguk
“Bentar” Pak Ahmad mengarak ke pintu, memberikan isyarat agar
orang yang dibalik pintu masuk ke dalam ruangan.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Dua orang wanita berjilbab lebar memasuki ruangan. Usia
mereka sekitar 19 atau 20 tahun. Masuk perlahan tertunduk malu dan penuh
kesantunan.
“Mas Angga perkenalkan, ini Aisyah dan Lathifah, mereka yang
akan membantu kita untuk proyek terbaru kita in
sya Allah” belum selesai pak Ahmad menyelsaikan kalimatnya, terdengar lagi
suara ketukan pintu,
“Assalamu’alaikum, permisi”
“wa’alaikumussalam, nah kalau yang ini Salma, ini
pemimpin tim yang dari Aceh” Pak Ahmad lanjut menjelaskan orang yang baru mau
masuk.
Seorang gadis memasuki ruangan, bunyi langkah kakinya
terdengar aneh, sepertinya dia menyeret salah satu kakinya untuk melangkah.
Firman memperhatikan keanehan itu, lama dia merenung. Ya rahmaan, itu gadis yang tadi
pagi di bis dan kakinya diinjak oleh si pria gembul. Kita bertemu lagi. Tak
sadar senyum Firman makin merekah, Angga yang memperhatikan buru-buru menyikut
lengan Firman, berkata lagi dengan tatapannya yang kurang lebih artinya.
“Apa-apaan sih lihat cewek sampai segitunya trus senyum-senyum lagi. Act naturally” Firman membalas
menjawab dengan tatapannya “Tenang.. Tenang.”
“Oh, iya, salam kenal semuanya. Saya mengucapkan terima kasih
karena kalian bertiga bersedia jauh-jauh datang dari Aceh untuk membantu proyek
kami disini.” Angga cepat-cepat mengambil alih forum sebelum Firman berulah
lagi.
“Ehem, Mbak Salma?” Firman berbicara.
Salma yang merasa namanya dipanggil menghadap ke Firman.
“Iya?” ragu-ragu dia menjawab.
“Bisa ikut saya sebentar?”
Angga terlihat bingung. “Ada apa Fir?”
Firman tidak menjawab, “ayo sekarang ya mbak.” Firman
melangkah keluar ruangan.
“Permisi” Salma dengan nada datar meminta ijin keluar pada
pak Ahmad dan Angga. Dia berjalan perlahan meninggalkan ekspresi bingung
orang-orang di dalam ruangan.
3rd Meet
“Ehem, Sini mbak, duduk di sini” Firman yang telah keluar
lebih dulu dari Salma menunjuk pada sebuah sofa di ruangan tunggu tamu kantor.
“Jangan kemana-mana ya. Tunggu sebentar, saya ada perlu
penting untuk didiskusikan. Jangan kemana-mana” Firman berkata sambil berjalan
mundur karena akan pergi ke ruangan yang lain lagi, tanpa menunggu jawaban dari
Salma. Salma tetap terlihat tenang.
Beberapa menit berlalu, Firman kembali dengan membawa kotak
P3K ditangannya.
“Mohon maaf sebelumnya boleh saya lihat kaki Anda?” Salma
tetap terlihat tenang namun tak menjawab pertanyaan Firman. “Oh, maaf bukan
maksud saya yang tidak-tidak, sebelumya mari kita kenalan lagi. Perkenalkan
nama saya Firman, mohon maaf atas kelancangan saya, namun atas takdir Allah
saya bertemu dengan anda tadi pagi di Bus. Jadi saya tahu apa penyebab jalanmu
seperti ini.”
Salma masih tetap diam. “So, Let me do this, saya akan
mengobati luka Anda. Saya yakin pasti kaki Anda akan memar dengan kejadian
seperti tadi.” Lanjut Firman sambil melangkah maju ingin meraih kaki salma.
Sedikit bersusah payah Salma menggeser kakinya agar tak tersentuh oleh Firman.
“Terima kasih Pak, saya sudah mengobati kaki saya sebelum memasuki ruangan
tadi.”
Salma berusaha beranjak dari kursi. Firman mau membantunya
namun ragu-ragu, khawatir ditolak lagi, “Oh, Okey, maaf saya mengambil
kesimpulan terburu-buru, karena saya mengira Anda belum sempat mengobatinya.”
Firman nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Malu bangeet. Di
tertunduk. Salma pun berlalu kembali ke ruangan semula.
4th Meet
Firman memasuki ruangan dengan gontai, semangatnya seperti
hilang karena malu. Dilihatnya Abangnya berbicara dengan pak Ahmad dan ketiga
gadis dari Aceh itu dengan serius.
“Maaf nih pak, kalau pertanyaannya sedikit pribadi. Saya
hanya penasaran” Gadis yang bernama Aisyah berbicara dengan santai
sekarang.
“Silahkan saja, saya akan menjawab kalau itu tidak terlalu
mengganggu area nyaman saya” Angga juga sepertinya telah terbawa suasana santai
percakapan mereka.
“Logat bicara Anda kok seperti orang Jawa ya?! Saya pikir
Anda orang Sunda?!” Salma terlihat memegang ujung jilbab Aisyah. Masih tak ada
ekspresi namun sepertinya itu artinya,”Kamu ngapain sih?! Nanyain itu?!” namun
jawaban Angga membuat Salma menghentikan aksinya. “Kami aslinya orang
Banyuwangi, namun karena orang tua kami membuka cabang di Bandung, jadi di
sinilah kami.” Angga tersenyum lebar sambil memandang adiknya.
“Ayo Firman ke sini sebentar,” Angga memanggil Firman agar
mendekat. Firman berusaha menghilangkan kecewanya sejenak karena kejadian
sebelumnya.
“Firman yang akan sepenuhnya mendampingi kalian agar
pembuatan kopi dengan inovasi terbaru kita dapat terwujud. Jadi, jika ada
apa-apa yag ingin ditanyakan atau dibutuhkan bisa langsung menghubunginya
saja.” Lanjut Angga, kembali fokus pada tujuan mereka kumpul pagi ini.
Firman menghela nafas halus berusaha agar tidak terdengar
abangnya dan orang-orang di ruangan tersebut. “Okelah, in sya Allah semua
berjalan dengan lancar Aamiin,” hati Firman membisikkan doa.
5th Meet
How to test a coffe?
Firman terus memperhatikan dan membandingkan ekspresi Salma,
Aisyah, dan Lathifah. Cara mereka bertiga menguji kopi hampir sama, mencium,
menyicip sedikit seolah merasakan tekstur kopi di bibir mereka, kemudian
meminumnya seteguk atau lebih dan selanjutnya memberi judgement, namun ada yang
berbeda ketika melihat ekspresi mereka. Aisyah dan Lathifah memiliki ekspresi
yang relatif sama di setiap sesi proses mencicipi produk kopi yang disajikan,
setelah mencium, sometimes mereka tersenyum, mengangkat bahu, menggelengkan
kepala dan kadang menghela nafas. Pada saat merasakan tekstur kopi di bibir,
Lathifah dan Aisyah, mengangkat alis mereka atau mengerutkan kening, dan ketika
meminum kopinya, mereka berdua juga menunjukkan ekspresi yang jelas sehingga
Firman dapat menilai bahwa kopi pilihan mereka berdua pastilah kopi yang diberi
nomor 4 sebelum mereka menyampaikan judgement-nya secara lisan. Namun untuk
Salma, Firman tidak bisa mengetahui kopi mana yang menurutnya terbaik. No
expression, kerutan kening pun tak ada, senyum ataupun bibir manyun karena tak
enak ataupun kalau dia merasa kopi itu pahit tak ada ekspresi.. Buat Firman tak
sabar menunggu komentarnya mengenai kopi dengan tekstur, aroma dan rasa seperti
apa yang cocok untuk konsep mereka yang terbaru.
Seperti yang Firman duga, Aisyah dan Lathifah memilih kopi
nomor 4. Firman menunggu pendapat Salma.
“Pak Firman, konsep kita adalah membuat kopi espresso ala
Indonesia yang kata kuncinya untuk membuat kopi esspresso terbaik adalah
memilih biji kopi pilihan, dari semua biji kopi yang ada di pabrik Anda ini,
kita tidak dapat melakukan proyek ini, kopi nomor empat memang nikmat ketika
dinikmati, namun dia tidak cocok untuk kopi esspresso, kopi espresso adalah
bukan hanya berasal dari kopi dengan tingkat penguapan terbaik, kopi nomor
empat ini memang telah melewati proses standar penguapan terbaik, namun ada
beberapa biji kopi rusak yang terselip di sana sehingga merusak rasa.” Salma
menarik nafas ringan. “Pak,Anda harus berani bayar mahal untuk biji kopi terbaik.
Sekarang kerja kita mulai dari awal lagi yaitu mencari biji kopi terbaik itu.
Untuk informasi di Indonesia sebenarnya banyak kopi terbaik namun anda harus
membelinya dengan tawaran terbaik, jika tidak begitu, Anda hanya akan diberikan
kopi dengan kualitas rendahan sesuai dengan harga yang Anda bayar.” Salma
dengan nada datarnya menjelaskan judgemennya. Aisyah dan Lathifah terlihat tak
membantah satupun perkataan Salma.
6th Meet
“Aisyah? Apa Salma selalu begitu? No expression about anything?”
Firman bertanya hati-hati pada Aisyah ketika mereka sedang berdua sedikit
menjauhi Salma dan Lathifah yang masih sibuk memilih kopi.
“Hmm, itu bukan tanpa ekspresi. Itu ekspresi tegar” sedikt
ragu, namun Aisyah memulai menjelaskan.
“Dari kecil orang tuanya tidak pernah menunjukkan ekspresi
lain di depannya selain satu ekspresi, yaitu ekspresi tegar. Saya kurang
tahu pasti alasan apa yang membuat orang tuanya begitu dihadapannya. Seolah-oah
orang tuanya tidak sempat atau bahkan tidak mau mengajarkannya ekspresi
menangis, tertawa, rasa sakit, pahit dan lain-lain, selain itu, ini keputusan
Salma sendiri, dia tidak mau mempelajari hal yang lain. Karena menurutnya
disinilah dia bisa merasakan bahwa dia tidak sendirian, dia selalu bersama ayah
dan ibunya. Hmm, gadis malang, dia sangat menyayagi ayah dan ibunya.” Aisyah
mengakhiri kisahnya.
“Emang kemana ayah dan ibunya?” Firman ingin Aisyah
menjelaskan lebih detail.
“Ayah dan ibunya telah meninggal saat usianya 3 tahun karena
kecelakaan mobil. Gadis malang, dia hidup sebatang kara tanpa ekspresi dan
selalu seperti itu, tak tahu kapan bisa kita lihat senyumannya ataupun sedih.
Jadi tidak ketebak apa yang sedang dia pikirkan ya?!” Firman mengangguk. Mereka
berdua melirik Salma.
Dari kejauhan terlihat Salma seperti kebingungan, walau
masih dengan ekspresi datar. Namun dari cara dia berjalan, tatapan matanya yang
terlihat seperti orang linglung, membuat Firman mendekatinya.
“Ada apa? Kau baik-baik saja?” Salma diam, masih dengan
ekspresi datar, ujung jari telunjuknya memegang hidungnya. “Sakit hidung?”
Firman berusaha menebak. Salma cepat-cepat menurunkan jarinya.“oh, bukan
apa-apa” Firman masih tak puas dengan jawaban Salma, namun Salma berjalan
menjauh menyibukkan diri lagi dengan memilih kopi.
7th Meet
“Kalian memang hebat, hanya dengan sedikit mencicipi bisa
ketahuan kalau ada kopi rusak yang terkandung di dalam ribuan biji kopi yang
telah diolah. Padahal kopi Arabica dan Robusta dari Banyuwangi
sudah melalui proses sedemikian rupa berharap tak ada kopi buruk yang
tercampur. Sekarang saya yakin produk kopi kita untuk membuat kopi espresso in
sya Allah akan laris di pasaran” Firman tersenyum lebar menyampaikan rasa
terimakasihnya pada tiga dara dari Aceh tersebut. Lathifah dan Aisyah membalas
tersenyum lebar. Salma terlihat memegang hidungnya dengan telunjuk kanannya.
“Sama-sama pak, itu memang sudah tugas kami datang kemari” Salma masih saja
dengan nada datarnya berbicara pada Firman.
“Hmm, Salma, saya telah mengetahui rahasianya.” Firman
terlihat serius. Ekspresi bingung terlihat di wajah Lathifah dan Aisyah. Salma
masih sama, datar. “Rahasia apa pak?” Salma bertanya.
“Rahasia mengetahui ekspresi kamu walau tidak melalui wajah.”
Firman tersenyum penuh makna.
“Emang bisa gitu pak?” sekarang Lathifah yang
penasaran.
“Itu mudah sekali.” Firman berhenti sejenak.
“Coba sekarang kalian lihat Salma.” Aisyah dan Lathifah masih
bingung. “Tak ada apa-apa pak?”
“Hmm, menurut kalian. Saat ini, Salma sedang tegang, menunggu
kira-kira apa yang membuat saya berkata bahwa saya mengetahui rahasia
ekspresinya.” Tiga gadis itu diam, menunggu Firman menyelesaian
penjelasannya.
“Lihatlah, dia sekarang menggenggam roknya. Itu tanda kalau
dia lagi tegang, waktu dia tersipu malu, dia memegang hidungnya dengan jari
telunjuknya, jika dia marah, dia duduk. Jika dia merasa pahit ketika merasakan
kopi, jari telunjuk kirinya akan nempel dengan jari tengahnya. Hmm masih itu
saja yang saya temukan sih”. Salma terlihat memegang hidungnya lagi dengan jari
telunjuknya. Tersadar semua memperhatikan dengan senyuman, Salma menurunkan
jarinya.“Wah, Anda sepertinya tahu banyak hal tentang saya.” Seperti tak
tertahankan, jari telunjukkan mendarat di hidungnya lagi walau aneh,
ekspresinya tetap saja datar.
8th Meet
“Maafkan saya ya, saya tahu kalau saya banyak salah dengan
ketidak profesionalan saya bekerja.” Firman mengatupkan kedua tangannya di
depan dadanya. “Sama-sama pak” Salma diam sejenak kemudian berbalik beranjak
pergi.
“Salma, mohon maaf sekali lagi, kalau saya selalu
penasaran dengan kehidupan pribadi kamu, mohon maaf juga saya jadi sering
mencari tahu tentang latar belakang kamu dengan keunikan kamu. Saya tidak tahu
mengapa?” Firman terdiam, Salma memegang erat rok lebarnya, sedikit menahan
nafas, menunggu Firman menyelesaikan penjelasannya.
“Ada satu hal yang saya ketahui beberapa hari yang lalu,
Salma..” Firman menghela napas dalam,
“Salma.. saya mengetahui fakta bahwa kematian orang tuamu dan
kondisimu saat ini ada kaitannya dengan diriku.” Salma masih diam. Firman
menggigit bibirnya seperti tak kuat menceritakan apa maksud perkataannya itu.
“Maksudnya bagaimana pak?” Salma akhirnya bertanya. “Salma, maafkan aku. Dua
puluh tahun yang lalu, saya divonis memiliki tumor otak. Orang tua saya dulu
tidak seberhasil saat ini, kami masih hidup pas-pasan dan belum mempunyai cukup
uang untuk biaya operasi. Orang tua sayapun menggunakan segala cara untuk
mendapatkan uang untuk biaya operasi. Salah satunya... salah satunyaa...”
Firman sudah tak kuat menyelesaikan ucapannya. Air matanya mulai menggenang di
sudut-sudut matanya. Dia menghela nafas dalam lagi. “Salah satunya adalah
mereka merampas semua milik orang tuamu dan menjadikan mereka seperti budak
sampai terkumpul uang untuk biaya operasi. Karena mereka saat itu adalah
karyawan di pabrik kopi Aceh. Itulah mengapa orang tuamu hanya melihatkan
padamu ekspresi tegar dan dengan lelahnya mereka bekerja, kecelakaan itu
terjadi. Maafkan aku Salma.. Maafkan aku.. ” Salma masih diam, tak ada kata,
namun sekilas terlihat Salma tersenyum kecil. Dia menghela napas. Sepertinya
selama Firman bercerita dia telah menahan nafasnya.
“Pak, saya sudah tahu kalau orang tua saya menunjukkan
ekspresi tegar itu karena apa. Ada pesan yang mereka tuliskan untuk saya dan
saya baru mengetahuinya lima tahun yang lalu. Saat saya berusia 16 tahun.’Kami
tak pernah lelah untuk tegar, karena tegar kami untuk kebaikan orang lain’.
Sepertinya mereka tahu mengapa mereka harus tegar saat itu pak, jadi
tidak apa-apa.” Mereka berdua diam sejenak. “Oke pak, saya permisi dulu,
khawatir tertinggal pesawat.” Salma akhirnya berjalan menjauh menuju mobil yang
akan membawanya ke bandara.
“Salma.. I think I love you” suara Firman lirih
tertiup angin sebagai kalimat perpisahannya dengan Salma, pagi itu.
-It’s Not The End-
Tak selamanya cinta butuh ekspresi
Bandung,
15 Agustus 2016
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com








Komentar
Posting Komentar